Minggu, 25 November 2007

Penciptaan sebuah robot

Pendidikan merupakan hak asasi setiap generasi. Pendidikan merupakan sebuah proses pembangunan kerangka berpikir manusia sejak ia berada di permukaan bumi. Undang-Undang Dasar negeri ini telah mengamanatkan agar pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus diterima oleh warganya.

Kondisi kekinian dunia pendidikan di negeri ini sangatlah mengiris keyakinan. Proses-proses pendidikan yang terbangun adalah sebuah ruang terbatas bagi penciptaan mesin-mesin (robot) pekerja yang hanya memiliki kemampuan berpikir statis, bukan pada sebuah proses penciptaan manusia pemikir yang sangat diperlukan untuk kelangsungan kehidupan di permukaan bumi ini.

Tingginya biaya pendidikan telah menjadi sebuah permasalahan pertama di dunia pendidikan. Pendidikan menjadi hanya milik kelompok kelas menengah dan atas, sedangkan pada warga miskin, pendidikan menjadi sebuah barang yang sangat sukar untuk dijangkau. Walaupun telah ada sebuah pijakan dengan berbagai slogan, semisal wajib belajar 9 tahun hingga pendidikan gratis, namun kenyataannya sekolah sebagai wadah pendidikan telah menjadi media bisnis.

Semakin menurunnya kualitas pembelajaran di dalam lingkungan sekolah telah menjadikan semakin suburnya bisnis-bisnis pendidikan luar sekolah yang senyatanya hanya untuk menjadikan pendidikan dimiliki hanya oleh mereka yang punya kekayaan. Kursus, bimbingan belajar, hingga bimbingan keterampilan telah menjadi menu pokok bagi anak, bukan lagi menjadi menu sampingan, dikarenakan kualitas pembelajaran di sekolah yang tak mampu memenuhkan hal tersebut.

Sementara dari kualitas guru yang dihasilkan oleh lembaga penghasil guru, menciptakan begitu banyaknya guru hanya berpikir pada sebuah capaian tertulis, bukan pada pengembangan kemampuan berpikir anak. Telah terpenuhinnya catatan, nilai evaluasi belajar yang tinggi, hingga menjadi juaranya anak pada lomba keilmuan telah menjadikan otak anak menjadi sebuah memori komputer yang tak memiliki sebuah kemampuan berkreasi.

Dari kesemuanya, kemudian dunia pendidikan semakin ditekan dengan kepentingan pemodal yang menciptakan kebutuhan pekerja, bukan manusia pemikir, sehingga pendidikan hanya diarahkan pada memenuhi kebutuhan lapangan kerja, tidak untuk menghadirkan ruang aktivitas baru dalam penjalanan kehidupan.

Paulo Freire pernah menyampaikan bahwa pendidikan adalah sebagai praktek pembebasan, bukanlah transfer atau transmisi pengetahuan yang terdapat dari berbagai kebudayaan. Pendidikan juga bukan perluasan pengetahuan teknis. Pendidikan bukan aksi untuk mendepositokan informasi-informasi atau fakta-fakta kepada siswa. Pendidikan bukanlah pelanggengan nilai-nilai dalam sebuah kebudayaan. Pendidikan bukanlah sebuah upaya mengadaptasikan siswa dengan keadaan. Freire memandang pendidikan sebagai praktek pembebasan di atas seluru situasi gnosiologikal yang sebenarnya.

Apa yang diungkapkan oleh seorang Freire mungkin bukan hal baru juga bagi sebagian besar warga negeri ini, hanya kemudian menjadi semakin terbelenggu oleh sistem yang dibangun oleh kepentingan penguasa dalam beberapa waktu lalu menjadikan terjadinya pembelengguan kreatifitas dan gagasan baru di berbagai tingkatan.

Masih belum terlupakan di saat tahun 1980-an, dunia kampus dibelenggu dengan kebijakan NKK/BKK. Dengan kemudian dilakukan pelabelan besar-besaran untuk membangun permusuhan dengan pengetahuan filsuf Eropa dan Rusia. Kemudian pengekangan semakin dikuatkan dengan lembaga-lembaga berlabel keagamaan, yang membangun pertengkaran antar manusia. Sangat menyedihkan ketika ternyata itu terjadi disaat belum terlalu utuh melihat sebuah nilai yang coba ditawarkan.

Ketika kemudian sejak tahun 1960-an, modal asing mulai mencengkramkan dirinya di negeri ini, sangat terlihat jelas sebagian besar wilayah kreatifitas dan ruang ekspresi warga dipenjarakan. Sistem pendidikan sebagai sebuah ruang awal kemerdekaan negeri ini dikuasai oleh kurikulum titipan pemodal. Menciptakan robot pekerja. Sehingga kemudian ketika lahir berbagai penemu di negeri ini, harus rela meninggalkan negeri untuk lebih dapat mengembangkan kapasitas dan mengekspresikan dirinya bagi kemajuan peradaban dunia.

Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Rusak-Rusakan menyampaikan bahwa ada banyak hal yang membuat pendidikan melenceng semakin jauh dari cita-cita idealnya. Semakin elitis dan tak terjangkaunya pendidikan oleh rakyat miskin, pengelolaan pendidikan yang birokratis dan hegemonik, hingga begitu banyaknya malpraktek di dunia pendidikan, telah berkontribusi bagi kehancuran generasi kemudian di negeri ini.

Semakin tingginya korupsi, menjamurnya bisnis pendidikan, hingga saling lempar tanggung jawab menjadikan dunia pendidikan negeri ini tak pernah beranjak dari keterpurukannya. Bila melihat pada sebuah undang-undang yang pernah dihadirkan di negeri ini pada tahun 1950, jelas tersampaikan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Sementara dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan hanyalah sebuah normatif bahkan kurang mudah dilaksanakan.

Lebih jauh ketika memandang pengelolaan pendidikan hari ini, maka sangat terlihat bahwa kualitas guru yang hadir hari ini adalah buah dari sebuah produk yang tidak sempurna. Hilangnya nilai-nilai kemanusian pada sebagian guru, lebih disebabkan karena tekanan kehidupan yang dimiliki oleh para guru ditambah dengan minimnya pengetahuan dan kreatifitas yang dimiliki. Tingginya biaya untuk menjadi guru hingga rendahnya gaji guru telah menumbuhkan hilangnya rasa kemanusiaan dari dunia pendidikan. Ditambah dengan sebuah kurikulum pendidikan guru yang bersifat kinetis mekanis, telah membangun dinding pada kemampuan berpikir kritis dan kreatif dari seorang guru.

Bukan salah kemudian ketika terjadi kasus aborsi, hamil muda, penggunaan narkoba, hingga tindakan lain oleh siswa yang dianggap sebagai kejahatan, maka dunia pendidikan seolah memusuhi, bukan berupaya untuk memberikan bantuan psikologis terhadap siswa tersebut. Skorsing hingga dikeluarkan dari sekolah, seolah menjadi satu-satunya solusi agar tak tercemarkan nama baik sekolah. Menjauhkan para siswa yang bisa jadi dibentuk oleh dunia pendidikan itu sendiri, malah dibiarkan untuk menggung resiko sendiri. Akhirnya bukan menjadikan negeri ini lebih baik, namun bukan tidak mungkin akan menjadikan negeri ini semakin meningkat jumlah kejadian kejahatan dan tindakan yang tidak diharapkan.

Sudah saatnya dunia pendidikan negeri ini meletakkan kembali cita-cita pendidikan yang pernah digaungkan sebelum negeri ini merdeka. Pendidikan di negeri ini sudah saatnya bukan untuk mengekor pada kepentingan negara utara. Begitu banyak kekayaan alam negeri ini tentunya akan menghasilkan lebih banyak pemikir-pemikir baru yang akan lebih baik dibandingkan pemikir di negara utara. Memperbaiki sistem pengelolaan pendidikan, mulai di wilayah pendidik, hingga pada fasilitas pendidikan, harus menjadi agenda utama. Mendekatkan kembali pendidikan negeri ini pada budaya dan alam negeri ini tentunya akan menghasilkan suasana negeri yang lebih baik.

Perombakan mendasar pada kurikulum pendidikan dasar hingga menengah, serta perubahan kurikulum dan memperbanyak ragam bahan bacaan pada tingkat pendidikan tinggi sudah saatnya dilakukan, agar tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai sebuah pabrik penghasil robot. Menata ulang sistem pendidikan tidak harus menunggu dari pemerintah pusat yang pasti tidak akan pernah berpikir untuk kebaikan negeri ini. Membangun dari sebuah komunitas terkecil akan lebih berharga.

Pendidikan berkualitas bagi rakyat sudah harus menjadi agenda penting kepala desa di negeri ini. Lupakanlah berharap pada pelaku politik dan pemerintahan, karena mereka hanya akan menciptakan ketergantungan berkelanjutan pada kepentingan pemodal asing, serta hanya bisa menggadaikan negeri ini pada penjajah.

Dan penting bagi mereka yang telah pernah memperoleh pendidikan untuk terus bergerak, berjuang dan menyuarakan ketidakadilan di negeri ini agar kemudian di generasi mendatang akan tercipta generasi yang dekat dengan alam, menghargai arti kemanusiaan, mandiri, berkecukupan dan demokratis.

Sabtu, 24 November 2007

Liku-liku Pengadaan Buku Pelajaran

UNTUK mengetahui seberapa panjang proses pengadaan buku pelajaran, berikut contoh sebuah proyek pengadaan buku pendidikan dan pengajaran tingkat menengah yang diadakan Depdiknas pada tahun anggaran 2003 sesuai dengan persetujuan Daftar Isian Proyek (DIP).

Anggaran untuk administrasi proyek sebesar Rp 98.812.000. Penyusunan rencana teknis (penyusunan petunjuk, program, dan laporan) sebesar Rp 111.000.000, penyusunan naskah model buku sebanyak 24 naskah dan pengkajian peta konsep Rp 1.825.998.000, biaya pengkajian peta konsep Rp 338.680.000, pengadaan buku pelajaran SMU sebanyak 635.264 eksemplar Rp 30.473.880.000. Pos persiapan pengadaan buku Rp 48.450.000. Pos pengiriman buku SMU terbagi dalam dua item pembiayaan, persiapan pengiriman buku Rp 43.125.000, adapun biaya pengirimannya sebesar Rp 2.318.348.000.

Begitu buku dikirim, ada petugas yang bertugas memantau. Untuk keperluan ini, ada biaya pemantauan pelaksanaan pengiriman dan pemanfaatan buku, serta pendataan ketersediaan buku dengan anggaran sebesar Rp 853.440.000. Di luar itu masih ada pengadaan alat pengolah data. Apa maksudnya, tak jelas, Apakah pos ini dimaksudkan untuk alat tulis atau komputer, tetapi uang yang disediakan cukup besar, yaitu sebesar Rp 126.000.000. Bila dijumlahkan, sebuah proses pengadaan buku pelajaran SMU membutuhkan dana Rp 35,899 miliar.

APABILA model pembiayaan itu untuk buku tingkat SLTA, kita akan melihat contoh alokasi anggaran untuk peningkatan mutu pelajaran IPA di Jakarta. Sebenarnya ada 11 item pembiayaan dan kegiatan mulai dari penyusunan rencana teknis (anggarannya Rp 1.106.690.000), pengembangan kelembagaan (berkait penyelenggaraan olimpiade IPA dan matematika) sampai pemantauan dan evaluasi kegiatan. Untuk memudahkan, diambil item yang berkait dengan penyusunan naskah buku pendidikan dan pengajaran, pelatihan manajemen, dan studi kebijaksanaan.

Penyusunan buku pelajaran IPA untuk siswa kelas III-VI SD dilakukan oleh 160 orang dengan biaya sebesar Rp 615.300.000. Penyempurnaan buku pelajaran itu dilakukan oleh 40 orang dengan biaya sebesar Rp 159.400.000. Penyusunan naskah buku lain sebanyak 1.500 set (tak dijelaskan buku apa saja, tetapi disebutkan pedoman pelaksanaan model pembelajaran tujuh mata pelajaran) menghabiskan biaya sebesar Rp 1.199.790.000. Pencetakan dan pengiriman buku model pembelajaran sebanyak 132.000 eksemplar biayanya Rp 5.555.000.000. Sebelum dicetak ada kegiatan yang disebut proses pelelangan, dananya sebesar Rp 55.000.000.

Berhubungan dengan model pembelajaran tujuh mata pelajaran di SD tahap kedua, diadakan kegiatan validasi GBPP (garis besar pendidikan dan pengajaran) biayanya sebesar Rp 3.780.890.000, adapun seminar hasil uji coba komparasi dan penyempurnaan model pembelajaran SD dianggarkan dana sebesar Rp 1.828.750.000.

Dihitung-hitung, untuk penyusunan buku dan penyempurnaan pembelajaran IPA kelas III-VI SD, untuk wilayah DKI Jakarta saja, pemerintah mengeluarkan dana sebesar Rp 13,139 miliar. Bukan jumlah yang kecil. Padahal, belum tentu buku yang dibuat akan digunakan oleh sekolah-sekolah di Jakarta.(TRI)